PROPOSAL PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA PERAN KELUARGA TERHADAP TINGKAT KECEMASAN INJECTING DRUG USER (IDU)
USIA 15-35 TAHUN
OLEH:
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
1.1 Latar Belakang
Keluarga merupakan orang terdekat dari seseorang yang mengalami gangguan kesehatan / dalam keadaan sakit. Keluarga juga merupakan salah satu indikator dalam masyarakat apakah masyarakat sehat atau sakit (Efendi , 1998). Peran / tugas keluarga dalam kesehatan yang dikembangkan oleh ilmu keperawatan dalam hal ini adalah ilmu kesehatan masyarakat (Komunitas) sangatlah mempunyai arti dalam peningkatan dalam peran / tugas keluarga itu sendiri. Perawat diharapkan mampu meningkatkan peran keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan keluarga. (Friedman, ed 3, 1998 : 145)
Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan klien.(Friedman, 2003 : 146).
Penanggulangan Injecting Drug User (IDU) memang cukup sulit, perlu diperhatikan dari berbagai aspek, misalnya ketersediaan sarana kesehatan publik, hukuman bagi pengguna, pengedar dan berbagai cara yang lain. Cara yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terkecil bagi seorang IDU. Kasih sayang orang tua akan menyebabkan pengguna merasa bahwa dirinya masih ada yang memperhatikan, merasa dihargai dan dibutuhkan. Dengan kasih sayang orang tua diharapkan menjadi manusia yang dapat diterima oleh masyarakat (Abu ahmadi, 2002 : 106).
Kesuma merupakan perkumpulan atau paguyuban, bukan organisasi hirarkis dan berbadan hukum. Kesuma membawa keselarasan dan kebersamaan. Motto dan semangat itu yang diciptakan. Menurut Mur achmadi, dari dinas kesehatan Kalimantan barat, “mereka sangat berperan dalam kerja pendampingan kepada orang hidup dengan AIDS (OHIDA). Kesuma mencoba memotivasi, bahwa hidup seseorang tidak berakhir ketika terinfeksi HIV. Perjuangan Kesuma menghilangkan berbagai stigma, sudah cukup terbukti di lapangan. Kesuma ingin menyakinkan masyarakat, bahwa orang tidak boleh membedakan ODHA. Entah
itu dari segi pelayanan, maupun keberadaannya. Hingga kini, keberadaan Kesuma sebagai kelompok dukungan bagi keluarga ODHA, telah banyak dirasakan manfaatnya. Meski demikian, keberadaan Kesuma masih sebatas orang tertentu saja yang mengetahui. sebagian besar orang tua mendukung penanganan terhadap HIV/AIDS. Cuma, orang tua tidak sepenuhnya tahu tentang hal itu. Seorang anak tidak mungkin memecahkan masalahnya sendiri. Anak butuh bantuan. Dan bantuan yang pertama kali diminta adalah dari orang tua atau keluarga.
Injecting Drug User (IDU) merupakan salah satu jenis pengguna narkoba yang lebih spesifik. Komunitas ini hanya menggunakan narkoba dengan cara disuntikkan, karena itu lebih berisiko terkena berbagai macam penyakit menular dibandingkan dengan pengguna narkoba lainnya. Hal ini disebabkan perilaku IDU yang sering berbagi jarum antar sesama IDU (needle sharing), sehingga akan lebih mudah tertular penyakit, misalnya Hepatitis C bahkan HIV-AIDS.
Data pada pengguna narkoba suntik di Asia sebanyak 1.3 – 2 juta jiwa dan dari total kasus yang ada, lebih dari 1 juta jiwa adalah pengguna narkoba suntik (IDU). Dimana 19% dari total kasus yang ada terinfeksi HIV/AIDS.
Angka pengguna narkoba di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Menurut perkiraan jumlah pengguna narkoba di Indonesia berkisar antara 1,3 sampai dengan 3 juta jiwa, dan didominasi kota besar. Diperkirakan jumlah IDU di Indonesia sekitar 600 ribu sampai dengan 1 juta jiwa. Pengguna IDU rata-rata berumur antara 16-25 tahun.
Kejadian IDU selalu berhubungan dengan kejadian HIV/AIDS ( ODHA ). Data nasional berdasarkan Departemen Kesehatan RI menunjukkan penurunan tingkat resiko penularan HIV/AIDS lewat jalur hubungan seksual. Bila sebelum tahun 1999 persentase penularan lewat jalur tersebut sebesar 80 persen, tahun 1999 menurun menjadi 50 persen dan tahun 2002 menurun lagi menjadi 48 persen. Sementara kasus kasus HIV/AIDS pada pemakai narkoba, atau IDU (Intravenous Drug Users) justru makin meningkat. Disebutkan, kasus kasus HIV/AIDS pada pemakai narkoba menurun dalam kurun enam tahun terakhir dan cenderung stabil. Berkebalikan dengan persentase IDU. Bila pada tahun 1987 Juni 1999 hanya ditemukan 6 kasus di kalangan IDU, Desember 1999 terjadi peningkatan 25 kasus, yang meningkat lagi menjadi 780 kasus tahun 2002. Dan pada Desember 2005 tercatat 3.719 kasus IDU. Dampak IDU tersebut tentu saja sangat erat dengan HIV/AIDS. Jumlah penderita HIV/AIDS yang tertular lewat berbagai jalur, hubungan seksual, pemakaian jarum suntik, transfusi darah hingga tahun 2005 mencapai 4.244 orang untuk HIV dan 5.321 orang (AIDS). Diperkirakan kasus kasus tersebut masih permukaan, realitanya masih lebih banyak kasus yang belum terungkap. Bahkan Departemen Kesehatan memperkirakan pada tahun 2007 kasus IDU yang tercatat setidaknya ada 90.000 130.000 kasus, dimana sebagian besar tidak melaporkan. ( Bernas, 2007 )
Saat ini, Jatim menduduki posisi ketiga sebagai provinsi yang jumlah orang hidup dengan HIV-nya terbanyak setelah DKI Jakarta dan Papua. Walau dalam data yang di dapat dari Depkes RI masih menduduki perangkat ketiga, jumlah penderita di Jatim memang cenderung meningkat dan bisa mengalahkan Jawa Barat dalam jumlah. Selama tahun 2006, terdapat 863 kasus AIDS, 475 kasus HIV dan 258 diantaranya meninggal (Depkes RI).
Data dari RSJ Menur Surabaya memperlihatkan bahwa dari 17 pasien yang ada diruang Napza, sebanyak 76.5% (13 pasien) adalah pengguna (IDU). Pada pasien yang baru masuk rumah sakit rata–rata mengalami stress psikologis (kecemasan). Sehingga peran keluarga sangatlah penting dalam membantu untuk mengurangi rasa cemas yang di alami pasien, dan hal itu sangat membantu dalam proses pengobatan/terapi pasien (Rekam Medik RSJ Menur Surabaya, 2008).
Mayoritas IDU menyuntik dirinya secara intravena, tetapi juga ditemukan secara subkutan, dan intramuskular. Jenis obat yang sering disuntikkan IDU adalah heroin, kokain, dan juga sejenis amphetamines, buprenorphine, benzodiazepines, dan barbiturate. Permasalahan IDU selain penyuntik akan mengalami berbagai reaksi sistemik akibat obat yang disuntikkannya, IDU juga dapat menularkan berbagai penyakit melalui jarum yang dipakai bergantian.
Masih belum jelas seberapa besar pengaruh peran keluarga terhadap proses penyembuhan IDU, serta belum jelas juga jika pengaruh peran keluarga ini dapat digunakan secara umum.
Jadi penulis berusaha mencari hubungan peran keluarga terhadap tingkat kecemasan Injecting Drug User ( IDU ) usia 15-35 tahun.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
Apakah ada hubungan peran keluarga terhadap tingkat kecemasan Injecting Drug User ( IDU ) usia 15-35 tahun ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Menganalisis peran keluarga terhadap tingkat kecemasan Injecting Drug User ( IDU ) usia 15-35 tahun.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi peran keluarga.
2. Mengidentifikasi tingkat kecemasan Injecting Drug User (IDU) usia 15-35 tahun.
3. Menganalisa peran keluarga terhadap tingkat kecemasan Injecting Drug User ( IDU ) usia 15-35 tahun.
1.4 Manfaat penulisan
Sesuai dengan latar belakang perumusan masalah dan tujuan penulisan yang hendak dicapai, maka manfaat yang dapat diharapakan dari penelitian ini adalah
1) Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang peran keluarga terhadap tingkat kecemasan Injecting Drug User (IDU) usia 15-35 tahun.
2) Bagi Institusi Pendidikan
Digunakan sebagai sumber informasi, khasanah wacana kepustakaan serta dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
3) Bagi Profesi
Dapat memberikan sumbangan ilmu bagi ilmu keperawatan.
4) Bagi keluarga
Memberi informasi kepada orang tua tentang peran keluarga dan perhatian orang tua kepada anak.
5) Bagi klien
Dapat meningkatkan konsep dari klien dan motivasi untuk berobat dan sembuh.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Keluarga
2.1.1 Definisi
Menurut Departemen Kesehatan RI (1988) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan yang saling ketergantungan.
Menurut Bailon dan Maglaya (1989 : 43) Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan dan hidup dalam rumah tangga dan berinteraksi satu sama lain dan dalam perannya menciptakan dan mempertahankan kebudayaan.
Menurut UU No. 10 tahun 1992 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
Menurut Friedman (1998 : 145) Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih secara bersama karena suatu ikatan lahir dan emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.
Keluarga dapat dikatakan harmonis jika para anggota didalamnya bisa berhubungan secara serasi dan seimbang, saling memuaskan kebutuhan anggota lainnya serta memperoleh kepuasan atas segala kebutuhannya ( BKKBN, 2006 : 102).
Teori Maslow yang membahas tentang beragam kebutuhan manusia telah menyusun suatu hierarki kebutuhan yang harus dipenuhi oleh individu sebagai pribadi dan sebagai anggota keluarga secara selaras dan seimbang,yaitu:
Kebutuhan biologik-faali (kebutuhan-kebutuhan dasar) seperti makan, minum, pakaian dsb.
1. Kebutuhan akan rasa aman (bebas dari bahaya dan ancaman baik fisik maupun psikis).
2. Kebutuhan akan kasih sayang (afeksi) dan rasa kebersamaan, rasa memiliki dan dimiliki, merasa dirinya bagian integral dari keluarga (belonging).
3. Kebutuhan akan penghargaan dan prestasi (self esteem)
4. Kebutuhan akan perwujudan diri (aktualisasi diri).
2.1.2 Struktur Keluarga
Menurut Nasrul Efendi, (1998 : 45) Struktur keluarga terdiri dari bermacam-macam :
1) Patrilineal : Keluarga yang sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui garis ayah
2) Matrilineal : Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara beberapa generasi yang disusun melalui garis ibu
3) Matrilokal : Sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga istri
4) Patrilokal : Sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga suami
5) Kawinan : Hubungan suami istri sebagai dasar dari pembinaan keluarga dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri.
2.1.3 Type atau bentuk keluarga
Menurut Nasrul Efendi, (1998 : 44) Type atau bentuk keluarga yaitu:
1) Keluarga inti, adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak
2) Keluarga besar, adalah keluarga inti ditambah sanak saudara
3) Keluarga berantai, adalah keluarga yang terdiri-dari suami atau istri yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan keluarga inti.
4) Singgle family, adalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian.
5) Keluarga berkomposisi, adalah keluarga dengan perkawinan berpoligami yang hidup secara bersama-sama
6) Keluarga kabitas, adalah dua orang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk satu keluarga
2.1.4 Pemegang kekuasaan dalam keluarga
Menurut Nasrul Efendi,(1998 : 87) pemegang kekuasaan dala keluarga adalah:
1) Patriakal, adalah dominan pemegang kekuasaan adalah pihak ayah
2) Matriakal, adalah dominan pemegang kekuasaan adalah pihak ibu
3) Equalitarian, adalah Kekuasaan dalam keluarga dipegang oleh ayah dan ibu
2.1.5 Peran keluarga
Peran yang dikutip oleh Frieman dari Nye, 1976 dinyatakan sebagai suatu perilaku yang bersifat homogen yang diharapkan secara normatif oleh seorang ocupan (Seseorang yang memegang suatu posisi dalam struktur sosial) dalam situasi sosial tertentu. Posisi atau status sosial didefinisikan sebagai tempat seseorang dalam sistem sosial. Dalam pelaksanaan peran berkenaan dengan siapa pemegang kekuasaan keluarga (Friedman, 1998 : 146).
Peran dalam keluarga memberikan tujuan homeostasis, homeostasis ini mengacu pada pemanfaatan mekanisme regulator oleh keluarga untuk mengatur keseimbangan dalam keluarga (Friedman, 1998). Turner, 1970 menyatakan jika keluarga tidak menyatakan atau melaksanakan peranya maka keluarga akan menjadi ketergantungan terhadap keberadaan peran-peran diluar keluarga (Misalkan petugas kesehatan)
2.1.6 Variabel yang mempengaruhi pelaksanaan peran keluarga
Menurut Friedman, 1998 Menyangkut struktur kekuasaan keluarga , ada faktor-faktor yang mempengaruhi peran keluarga yang meliputi:
1) Kelas Sosial
Fungsi dari peran keluarga tentulah dipengaruhi oleh tuntutan kepentingan dan kebutuhan yang ada dalam keluarga
2) Bentuk Keluarga
Keluarga dengan orang tua tunggal jelas bebeda dengan orang yang masih lengkap, demikian juga dengan antara keluarga inti dan keluarga besar yang beragam dalam pengambilan keputusan dan kepentingan akan rawan konflik peran.
3) Latar Belakang Keluarga
Kesadaran dan kebiasaan keluarga
Notoadmojo 1995 menyatakan kesadaran merupakan titik temu atau equilibrium dari berbagai pertimbangan dan perbandingan yang menghasilkan keyakinan. Kebiasaan yang meningkatakan kesehatan yaitu; tidur teratur, sarapan setiap hari, tidak merokok, tidak minum-minuman keras, tidak makan sembarangan, olah raga, pengontrolan berat badan.
Sumber daya keluarga (Moenir, 1995 : 56)
Sumber daya atau pendapatan keluarga merupakan penerimaan seseorang sebagai imbalan atas semua yang telah dilakukan dengan tenaga atau pikiran seseorang terhadap orang lain atau organisasi lain. Dalam pendapatan ada 2 metode yang dilakukan yaitu; KFM ( kebutuhan fisik minimum) dan KHM (Kebutuhan hidup minimum).
4) Siklus keluarga
Perbedaan siklus keluarga yang sedang dialami juga merupakan hal yang dapat mempengaruhi peran karena perbedaan kebutuhan dan kepentingan.
2.1.7 Peran keluarga dalam kesehatan
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai peran dan tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan yang meliputi :
1) Mengenal masalah kesehatan
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak berarti dan karena kesehatanlah seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu mengenal keadaan sehat dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarganya. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung akan menjadi perhatian dari orang tua atau pengambil keputusan dalam keluarga (Suprajitno, 2004). Mengenal menurut Notoadmojo, 1995 diartikan sebagai pengingat sesuatu yang sudah dipelajari atau diketahui sebelumnya. Sesuatu tersebut adalah sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Dalam mengenal masalah kesehatan keluarga haruslah mampu mengetahui tentang sakit yang dialami pasien.
2) Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga
Peran ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai keputusan untuk memutuskan tindakan yang tepat (Suprajitno, 2004). Friedman, 1998 menyatakan kontak keluarga dengan sistem akan melibatkan lembaga kesehatan profesional ataupun praktisi lokal (Dukun) dan sangat bergantung pada:
Apakah masalah dirasakan oleh keluarga ?
Apakah kepala keluarga merasa menyerah terhadap masalah yang dihadapi salah satu anggota keluarga ?
Apakah kepala keluarga takut akibat dari terapi yang dilakukan terhadap salah satu anggota keluarganya ?
Apakah kepala keluarga percaya terhadap petugas kesehatan?
Apakah keluarga mempunyai kemampuan untuk menjangkau fasilitas kesehatan?
3) Memberikan perawatan terhadap keluarga yang sakit
Beberapa keluarga akan membebaskan orang yang sakit dari peran atau tangung jawabnya secara penuh, Pemberian perawatan secara fisik merupakan beban paling berat yang dirasakan keluarga (Friedman, 1998). Suprajitno menyatakan bahwa keluarga memiliki keterbatasan dalam mengatasi masalah perawatan keluarga. Dirumah keluarga memiliki kemampuan dalam melakukan pertolongan pertama. Untuk mengetahui dapat dikaji :
Apakah keluarga aktif dalam ikut merawat pasien?
Bagaimana keluarga mencari pertolongan dan mengerti tentang perawatan yang diperlukan pasien ?
Bagaimana sikap keluarga terhadap pasien? (Aktif mencari informasi tentang perawatan terhadap pasien)
4) Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga
Pengetahuan keluarga tentang sumber yang dimiliki disekitar lingkungan rumah
Pengetahuan tentang pentingnya sanitasi lingkungan dan manfaatnya.
Kebersamaan dalam meningkatkan dan memelihara lingkungan rumah yang menunjang kesehatan.
5) Menggunakan pelayanan kesehatan
Menurut Nasrul, 1998, pada keluarga tertentu bila ada anggota keluarga yang sakit jarang dibawa ke puskesmas tapi ke mantri atau dukun.
Untuk mengetahui kemampuan keluarga dalam memanfaatkan sarana kesehatan perlu dikaji tentang :
Pengetahuan keluarga tentang fasilitas kesehatan yang dapat dijangkau keluarga
Keuntungan dari adanya fasilitas kesehatan
Kepercayaan keluarga terhadap fasilitas kesehatan yang ada
Apakah fasilitas kesehatan dapat terjangkau oleh keluarga.
Tenaga kesehatan dapat menjadi hambatan dalam usaha keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada. Hambatan yang dapat muncul terutama kamunikasi (Bahasa) yang kurang dimengerti oleh petugas kesehatan. Pengalaman yang kurang menyenangkan dari keluarga ketika berhadapan dengan petugas kesehatan ketika berhadapan dengan petugas kesehatan.
2.1.8 Ciri-ciri keluarga di Indonesia (Nasrul, 1998 : 132)
1) Suami sebagai pengambil keputusan
2) Merupakan satu kesatuan yang utuh
3) Berbentuk monogram
4) Bertanggung jawab
5) Meneruskan nilai-nilai budaya
6) Ikatan keluarga yang erat
7) Mempunyai semangat gotong royong.
2.2 Konsep Kecemasan
Stress psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan terhadap diri seseorang; sehingga orang tersebut terpaksa mengadakan adaptasi untuk menanggulanginya. Dari hal tersebut maka dapat timbul kecemasan bahkan sampai depresi. Seseorang yang mengalami sakit dengan penyakit yang kronis atau cidera dapat menjadikan orang tersebut cemas. (Dadang Hawari, 2002 :47)
Tidak semua orang yang mengalami stress psikososial mengalami kecemasan, hal ini tergantung pada kepribadian masing masing orang dan dukungan yang diberikan keluarga di dalamnya. (Hawari, 2002 : 142)
2.2.1 Definisi
Kecemasan dapat disebut juga ansietas / anxiety adalah merupakan gangguan alam perasaan (Affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih utuh, perilaku terganggu tapi masih dalam keadaan normal.
2.2.2 Kepribadian pencemas
Menurut teori Ludwig Klages, (1999 : 25) kepribadian seseorang adalah perlawanan atau mempertahankan diri sekuat tenaga dari stressor dan menyerah terhadap stressor.
Hawari menyatakan seseorang yang menderita gangguan cemas manakala seseorang tidak mampu mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya dia akan menyerah atau mepertahakan diri sekuat tenaganya. Seseorang yang tanpa stressor juga dapat menjadi cemas dapat dinamakan pribadi pencemas. Ciri-ciri dengan kepribadian cemas :
1) Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang
2) Memandang masa depan dengan rasa was-was (Khawatir)
3) Kurang percaya diri, gugup apabila tampil dimuka umum
4) Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain
5) Tidak mudah mengalah atau suka “Ngotot”
6) Gerakan sering serba salah, gelisah
7) Seringkali mengeluh, khawatir yang berlebih terhadap penyakit.
8) Mudah tersinggung, suka membesarkan masalah kecil
9) Dalam mengambil keputusan sering bimbang atau ragu
10) Kalau sedang emosi bertindak histeris.
Orang dengan kepribadian ini tidak semua mengeluh hal yang sifatnya psikis tapi juga somatik (Fisik).
2.2.3 Gejala Klinis Cemas
Keluhan keluahan yang sering diungkapkan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut (Hawari, 2002) :
1) Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung
2) Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut
3) Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang
4) Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
5) Gangguan konsentrasi dan daya ingat
6) Keluhan-keluhan somatik, misalnya sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala, dan lain sebagainya.
Selain keluhan cemas diatas ada kelompok cemas yang lebih berat dari gangguan cemas menyeluruh, panik, gangguan Phobik, dan gangguan obsesif kompulsif.
2.2.4 Gangguan cemas menyeluruh
Hawari Menyatakan bahwa secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai dengan kecemasan yang menyeluruh dan menetap (1bulan) dengan manifestasi sebagai berikut :
1) ketegangan motorik/alat gerak :
Gemetar
Tegang
Nyeri otot
Letih
Tidak dapat santai
Kelopak mata bergetar
Kening berkerut
Muka tegang
Gelisah
Tidak dapat diam
Mudah kaget
2) Hiperaktivitas saraf autonom (Simpatis/ Parasimpatis) :
Berkeringat yang berlebihan
Jantung berdebar-debar
Rasa dingin
Telapak tangan/kaki basah
Mulut kering
Pusing
Kepala terasa ringan
Kesemutan
Mual
Rasa aliran panas atau dingin
Sering buang air seni
Diarea
Kerongkongan rasa tersumbat
Muka pucat dan atau memerah
Nadi dan nafas cepat pada waktu istirahat.
3) Rasa khawatir yang berlebihan tentang hal-hal yang akan datang :
Cemas, khawatir, takut
Berpikir berulang
Membayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain
4) Kewaspadaan yang berlebihan
Mengamati lingkungan secara berlebihan sehingga mengakibatkan perhatian mudah teralih
Sukar konsentrasi
Sukar tidur
Merasa ngeri
Mudah tersinggung
Tidak sabar
2.2.5 Alat ukur kecemasan (Hawari, 2002 mengutip dari HRS-A)
Score diberi 0-4 pada tiap kelompok gejala:
1) Perasaan cemas (Ansietas)
Cemas
Firasat buruk
Takut akan pikiran sendiri
Mudah tersinggung
2) Ketegangan
Merasa tegang
Lesu
Tidak bisa istirahat dengan tenang
Mudah terkejut
Mudah menangis
Gemetar
Gelisah
3) Ketakutan
Pada gelap
Pada orang asing
Ditinggal sendiri
Pada binatang besar
Pada keramaian lalu lintas
Pada kerumunan orang banyak
4) Gangguan tidur
Sukar masuk tidur
Terbangun pada malam hari
Tidur tidak nyenyak
Bangun dengan lesu
Banyak mimpi-mimpi
Mimpi buruk
Mimpi menakutkan
5) Gangguan kecerdasan
Sukar konsentrasi
Daya ingat yang menurun
Daya ingat buruk
6) Perasan depresi (Murung)
Hilangnya minat
Berkurangnya kesenangan pada hobi
Sedih
Bangun dini hari
Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7) Gejala somatik/fisik (Otot)
Sakit dan nyeri otot-otot
Kaku
Kedutan otot
Gigi gemerutuk
Suara tidak stabil
8) Gejala Somatik/ fisik(sensorik)
Tinitus (Telinga berdenging)
Pengelihatan kabur
Muka merah atau pucat
Merasa lemas
Perasaan seperti ditusuk-tusuk
9) Gejala kardiovaskuler (Jantung dan pembuluh darah)
Takikardia
Berdebar-debar
Nyeri di dada
Denyut nadi mengeras
Rasa lesu/ lemas seperti mau pingsan
Detak jantung menghilang atau berhenti sejenak
10) Gejala Respiratori
Rasa tertekan atau sempit di dada
Rasa tercekik
Sering menarik nafas
Nafas pendek dan sesak
11) Gejala gastrointestinal
Sulit menelan
Perut melilit
Gangguan pencernaan
Nyeri sebelum dan sesudah makan
Perasaan terbakar di perut
Rasa penuh atau kembung
Mual dan muntah
Buang air besar lembek
Konstipasi (Sukar buang air besar)
Weight loss (Kehilangan berat badan)
12) Gejala urogenital (Perkemihan dan Kelamin)
Sering buang air kecil
Tidak dapat menahan air seni
Tidak datang bulan
Darah haid yang berlebihan
Darah haid yang teramat sedikit
Masa haid yang berkepanjangan
Masa haid yang amat pendek
Haid beberapa kali dalam sebulan
Menjadi dingin (Frigid)
Ejakulasi dini
Ereksi melemah
Ereksi hilang
Hipotensi
13) Gejala autonom
Mulut kering
Muka merah
Mudah berkeringat
Kepala pusing
Kepala terasa berat
Kepala terasa sakit
Bulu-bulu berdiri
14) Tingkah laku (Sikap) pada saat wawancara
Gelisah
Tidak tenang
Jari gemetar
Kerut kening
Muka tegang
Otot mengeras/ tegang
Nafas pendek dan cepat
Muka merah
Perlu diketahui bahwa alat ukur HRS-A digunakan untuk mengukur derajat cemas apakah ringan, sedang atau berat yaitu dengan skor <14 tidak ada kecemasan; 14-27 Kecemasan ringan; 28-41 Kecemasan sedang; 42-56 Kecemasan berat.
2.3 Injecting Drug Users (IDU)
2.3.1 Definisi
Injecting Drug User (IDU) merupakan salah satu jenis pengguna narkoba yang lebih spesifik. Komunitas IDU tersebut hanya menggunakan narkoba yang disuntikkan secara intravena, subkutanneus dan intramuskular. IDU lebih berisiko terkena banyak penyakit menular dibandingkan pengguna narkoba lainnya, disebabkan perilaku IDU sendiri yang sering berbagi jarum antar sesama IDU (needle sharing), sehingga akan lebih mudah tertular penyakit (misalnya Hepatitis C bahkan HIV-AIDS) (BNN, 2007).
2.3.2 Faktor-faaktor yang mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya IDU antara lain :
1. Host
Mental mudah terpengaruh
2. Agent
Drug dan alat-alatnya mudah didapat.
3. Lingkungan
Keluarga
Keluarga yang bercerai
Kurang kasih saying dan perhatian
Kurang pengawasan dari orang tua
Masalah dalam keluarga
Teman pergaulan
2.3.3 Jenis Obat yang disuntikkan IDU
Beberapa macam obat yang disuntikkan oleh IDU ke dalam tubuhnya, antara lain :
1. Morphine
2. Heroin (putauw)
3. Amphetamine
4. Sedatif - hipnotis ( Benzodiazepin / BDZ )
5. Buprenorfin
6. Barbiturat
2.3.4 Pengaruh jangka panjang IDU
Pengguna narkoba jenis suntik memiliki banyak dampak negatif bagi diri dan lingkungannya, antara lain:
1. Pembuluh darah vena rusak akibat penggunaan alat suntik tidak steril.
2. Tetanus
3. Gangguan pada jantung, dada, dan tenggorokan.
4. Menstruasi tidak teratur
5. Impotensi pada pria
6. Sembelit / mulas kronis
7. Tindak kekerasan dan kejahatan
2.3.5 Perkembangan IDU di Indonesia
Departemen Kesehatan memperkirakan pada tahun 2007 kasus IDU yang tercatat setidaknya ada 90.000 130.000 kasus, yang sebagian besar tidak melapor (Bernas, 2007). Estimasi Departemen Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional tahun 2006, tercatat sekitar 190.000 sampai 247.000 IDU di Indonesia dengan prevalensi rata-rata tertular penyakit sebesar 41,07 % (Komunitas AIDS Indonesia, 2007).
Pelayanan dan fasilitas yang diberikan berdasarkan data yang menunjukkan 80 persen IDU adalah pria dan 50 % usia 25-30 tahun, atau usia produktif, tercatat pula 64 % IDU masih menggunakan jarum suntik bersama (Kompas, 2006).
2.3.6 Terapi bagi IDU
Model terapi untuk IDU bermacam, namun tidak semua model tersebut cocok untuk semua orang. Kutipan dari National Institute of Drug Abuse (NIDA), lnstitut di bidang Drug Abuse tertinggi di AS menyatakan bahwa "tidak ada satu model terapi yang cocok untuk semua orang". Keanekaragaman terapi tergantung keanekaragaman obat-obatan yang disalahgunakan. Terapi juga tergantung karakteristik dari pengguna.
Terapi penyalahgunaan obat-obatan harus meliputi terapi tingkah laku (konseling, terapi kognitif, terapi sosial), terapi medis, terapi keagamaan atau kombinasi dari semua terapi. Penyembuhan dengan berbagai macam terapi tersebut merupakan sebuah proses, dan tidak bisa hanya dalam satu waktu penanganan.
Detoksifikasi bukan merupakan jenis terapi, melainkan awal dari terapi. Detoksifikasi dilakukan pecandu heroin, benzidiazepine, alkohol, barbiturat dan sedatif lainnya. Detoksifikasi membantu meringankan proses withdrawal. Proses detoksifikasi ini tidak menghentikan kecanduan.
Beberapa contoh model terapi bagi IDU adalah
1. Model moral
Model yang sangat dikenal oleh masyarakat kita adalah model agamis / moral. Model tersebut menekankan tentang dosa dan kelemahan individu. Program terapi tersebut banyak dikenal di masyarakat. Model tersebut dipakai jika masyarakat masih memegang nilai-nilai keagamaan / moral dengan kuat. Model tersebut mengambil konsep "war on drug", dan berjalan bersamaan dengan konsep baik dan buruk yang diajarkan oleh agama. Model tersebut membenarkan kekuatan hukum untuk berperang melawan penyalahgunaan obat-obatan. Kelemahan dari model terapi jenis tersebut adalah dualisme antara keinginan berperang melawan pecandu yang pada sisi lain adalah anggota keluarga sendiri.
2. Model adiksi sebagai penyimpangan sosial.
Model terapi dengan program teraputik komunitas mulai banyak diterapkan beberapa tahun terakhir ini. Model tersebut memakai konsep penyimpangan sosial (social-disorder) sebagai dasar terapi, baik struktur dan proses semua mengarah ke arah perubahan dari penyimpangan sosial ke arah perilaku sosial yang layak. Mayoritas penyalahgunaan obat-obatan melakukan tindakan asosial termasuk tindakan kriminal.
Model tersebut memusatkan terapi bukan pada obat-obatan yang disalahgunakan tetapi perilaku yang bersangkutan. Model tersebut banyak diterapkan di lembaga terapi yang memfokuskan diri pada mereka yang harus menjalankan masa hukuman dengan pengawasan juridiksi pengadilan. Keunikan model tersebut adalah dalam fungsi komunitas sebagai agen perubahan. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh para residen. Kedudukan konselor hanya memastikan program yang ada harus mendukung struktur yang ada. Psikiater dan dokter hanya diperlukan jika ada gangguan mental atau gangguan fisik. Bantuan pekerja sosial diperlukan untuk masalah sosial seperti hubungan dengan pengadilan, pencarian pekerjaan, dll. Kontrol sosial dilakukan oleh para konsuler yang merupakan mantan pecandu.
3. Model penyakit / gangguan kesehatan
Model lain yang banyak dipakai adalah model biologis. Konsep tersebut berasal dari teori fisiologis atau metabolisme yang tidak normal, karena faktor etiologis atau keturunan. Ada dua macam model terapi berdasarkan konsep ini.
Konsep pertama adalah konsep menyembuhkan kecanduan obat dengan memakai obat lain. Contohnya adalah model treatmant metadon untuk pecandu opiat. Terapi tersebut didasarkan pada teori bahwa kecanduan opiat merupakan hasil dari defisiensi metabolik. Defisiensi tersebut dilakukan dengan memberikan metadon (Dole and Nyswander, 1967 : 22). Terapi medis tersebut berdasarkan adanya kesalahan metabolisme yang harus dikoreksi. Terapi yang berbeda adalah pemakaian naltrexone sebagai antagonis dari narkotika. Saat ini pemerintah Amerika Serikat telah menyetujui Burpenorphine sebagai alternatif dari metadon. Penelitian membuktikan bahwa metadon tidak terlalu memberikan hasil yang diharapkan.
Konsep adiksi sebagai penyakit mempunyai teori lain tentang terapi. Dari model biologis tersebut, lahir konsep dis-ease (disease–model mempunyai dua arti : disease sebagai penyakit dan dis-ease sebagai rasa tidak nyaman). Konsep tersebut mulai dianut sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat dan disebut gerakan alkoholisme (Room, 1983 : 55). Konsep tersebut menyatakan bahwa kecanduan alkohol identik dengan penyakit diabetes atau penderita gangguan jantung. Model tersebut menjelaskan bahwa seorang alkoholik adalah penderita penyakit alkohol. Seorang penderita penyakit gula yang dilarang mengonsumsi gula, maka penderita penyakit alkohol juga tidak boleh mengonsumsi alkohol. Terapi untuk konsep penyakit tersebut berbeda dengan terapi yang melihat adiksi sebagai penyimpangan sosial. Pecandu dianggap pasien pada terapi ini. Konselor adalah "dokter". Pasien direhabilitasi dengan konsep alergi. Mereka mempunyai alergi terhadap alkohol, sehingga mereka tidak boleh mengonsumsi alkohol seumur hidup. Konsep adiksi sebagai penyakit mementingkan perkumpulan (fellowships) yang mempunyai (penyakit) alkohol, narkotik, atau kecanduan lain untuk menjadi pendukung satu sama lain, karena konsep tidak boleh minum atau menggunakan drug seumur hidup itu sangat sulit.
Konsep adiksi sebagai penyakit membenarkan teori bahwa ketergantungan adalah masalah utama. Sedangkan konsep adiksi sebagai penyimpangan sosial melihat masalah pribadi dan sosial sebagai masalah utama dan ketergantungan merupakan masalah kedua.
4. Model psikologis
Model tersebut membenarkan teori psikologis bahwa kecanduan adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi selayaknya atau konflik, sehingga pecandu memakai obat pilihannya untuk meringankan atau melepaskan beban psikologis itu (Mc Lellin, Woody and O'Brien, 1979 : 175). Model tersebut mementingkan penyembuhan emosi. IDU tidak akan mempunyai masalah dengan obat-obatan jika emosi dapat dikendalikan.
Model terapi tersebut banyak dilakukan dalam konseling pribadi, baik dalam pusat rehabilitasi atau terapi pribadi. Model tersebut digunakan oleh beberapa instansi di negara kita.
5. Model kebudayaan dan sosial
Model terapi jenis ini menyatakan bahwa kecanduan adalah hasil sosialisasi seumur hidup dalam lingkungan sosial atau kebudayaan tertentu.
Keluarga seperti lingkungan, dapat dikategorikan sebagai lingkungan sosial dan kebudayaan tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa pemakaian alkohol oleh anggota keluarga merupakan masalah di keluarga yang bersangkutan. Model tersebut banyak menekankan proses terapi untuk anggota keluarga pecandu (Ametembun, 2003 : 255).
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep (Hawari, 2002)
3.1 Hipotesis Penelitian
H1 : Ada hubungan antara peran keluarga dalam kesehatan terhadap kecemasan Injecting Drug User ( IDU ) usia 15-35 tahun.
H0 : Tidak ada hubungan antara peran keluarga dalam kesehatan terhadap kecemasan Injecting Drug User ( IDU ) usia 15-35 tahun.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan lokasi penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di ruang Napza RSJ Menur Surabaya. Adapun waktu penelitian ini dimulai januari 2008 sampai April 2008
4.2 Desain penelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian (Nursalam & Pariani, 2001).
Jenis penelitian yang digunakan Analitik“Cross sectional”, artinya obyek diobservasi satu kali saja dan pengukuran menggunakan variabel independen dan dependen dilakukan pada saat pengkajian data, Metode menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu dengan korelasi dimana analisa digunakan untuk mengetahui hubungan. (Sastroasmoro & Ismael, 1995).
4.3 Kerangka Kerja (Frame Work)
3.1 Hipotesis Penelitian
H1 : Ada hubungan antara peran keluarga dalam kesehatan terhadap kecemasan Injecting Drug User ( IDU ) usia 15-35 tahun.
H0 : Tidak ada hubungan antara peran keluarga dalam kesehatan terhadap kecemasan Injecting Drug User ( IDU ) usia 15-35 tahun.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan lokasi penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di ruang Napza RSJ Menur Surabaya. Adapun waktu penelitian ini dimulai januari 2008 sampai April 2008
4.2 Desain penelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian (Nursalam & Pariani, 2001).
Jenis penelitian yang digunakan Analitik“Cross sectional”, artinya obyek diobservasi satu kali saja dan pengukuran menggunakan variabel independen dan dependen dilakukan pada saat pengkajian data, Metode menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu dengan korelasi dimana analisa digunakan untuk mengetahui hubungan. (Sastroasmoro & Ismael, 1995)4.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat ijin dari RSJ Menur Surabaya kemudian dilakukan inform concent setelah mendapat persetujuan untuk menjadi responden dibagikan kuessioner pada responden untuk peran dan dilakukan wawancara oleh petugas kesehatan dengan bantuan kuessioner HRS-A.
4.2 Analisa Data
Setelah data terkumpul dilakukan penyuntingan untuk melihat kualitas data. Dilanjutkan dengan melakukan coding dan tabulasi, kemudian disajikan dalam bentuk tabulasi silang sesuai dengan variable yang hendak diukur. Untuk mengetahui hubungan antar variable digunakan Uji korelasi rank Spearman dengan nilai kemaknaaan p<0,05 dengan menggunakan program SPSS 11 for Windows. Apabila hasil uji statistik didapatkan p<0,05, maka H0 ditolak yang berarti ada hubungan antara peran keluarga terhadap tingkat kecemasan injecting drug user (IDU) usia 15-35 tahun. Sebaliknya apabila hasil uji statistik p>0,05 maka H0 diterima yang berarti tidak ada hubungan antara peran keluarga terhadap tingkat kecemasan injecting drug user (IDU) usia 15-35 tahun.
4.3 Etika Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Direktur RSJ Menur Surabaya. Setelah mendapatkan persetujuan peneliti mulai melakukan penelitian dengan mendapatkan masalah etika mulai melakukan penelitian dengan memperhatikan masalah etika yang meliputi :
1. Lembar persetujuan menjadi responden (informed consent)
Sebelum lembar persetujuan diberikan pada subyek penelitian, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan yang akan dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Setelah diberikan penjelasan, lembar persetujuan diberikan kepada subyek penelitian. Jika subyek penelitian bersedia diteliti maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan, namun jika subyek penelitian menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.
2. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan subyek peneliti, peneliti mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberikan kode pada masing-masing lembar tersebut.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan semua informasi yang diperoleh dari subyek penelitian dijamin oleh peneliti.
4.4 Keterbatasan
Dalam penelitian ini keterbatasan yang dihadapi peneliti adalah:
a. Sampel atau responden
Karena keterbatasan jumlah sampel maka keakuratannya hasil penelitian masih perludi uji coba.
b. Pengumpulan data.
Keterbatasan dalam pernyataan sehingga tidak dapat mengungkap hal-hal yang diperlukan lebih banyak lagi. Pengumpulan data dengan kuesioner mewakili jawaban lebih banyak dipengaruhi oleh sikap dan harapan pribadi yang bersifat subyektif.
TINGKAT KECEMASAN – HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY
Penilaian :
0 : Tidak ada (Tidak ada gejala sama sekali)
1 : Ringan (Satu atau kurang dari sparuh dari gejala pilihan yang ada)
2 : Sedang (Separuh dari gejala yang ada)
3 : Berat (Lebih dari separuh dari gejala yang ada)
4 : Sangat berat (Semua gejala ada)
Penilaian derajat kecemasan :
Score <14 : Tidak ada
Score 15-27 : Ringan
Score 28-41 : Sedang
Score 42-56 : Berat
Kuessioner Peran Keluarga Dalam Kesehatan
No. Responden :
Kode responden :
Jawablah dengan memberikan tanda (√) pada pilihan yang anda anggap tepat.
Tanda Tangan
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Puskesmas Campur Darat merupakan puskesmas tingkat kecamatan yang merupakan puskesmas rujukan dan mempunyai 3 puskesmas pembantu. Pada Puskesmas campur Darat di dapatkan sarana rawat inap dengan kapasitas 22 tempat tidur yang dibagi dalam 3 bangsal yaitu anak, dewasa dan wanita. Pada puskesmas ini dilayani oleh 1 dokter umum , 1 dokter gigi ,10 perawat ,1 Perawat gigi, 1 Analis kesehatan, 3 petugas kesehatan lingkungan. Jumlah pasien dengan hipertensi pada puskesmas adalah 40 penderita.
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Data umum keluarga responden
Distribusi umur keluarga respondenGambar 4.1 Diagram Pie distribusi menurut umur keluarga responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
1. Distribusi Pendidikan keluarga responden
Gambar 4.2 Diagram Pie distribusi menurut pendidikan keluarga responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 4.2 diatas diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai pendidikan SMP yaitu 15 responden (37%).
1. Distribusi pekerjaan keluarga responden
Gambar 4.3 Diagram Pie distribusi menurut pekerjaan keluarga responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 4.3 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai pekerjaan wiraswasta.
1. Distribusi Agama keluarga responden
Gambar 4.4 Diagram Pie distribusi menurut agama keluarga responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 4.4 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden menganut agama Islam.
1. Distribusi Pendapatan keluarga responden
Gambar 4.5 Diagram Pie distribusi menurut Pendapatan keluarga responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 4.5 diatas diketahui bahwa sebagian besar yaitu 27 responden (67%) mempunyai pendapatan < 500.000
4.2.2 Data Umum Pasien
1. Distribusi responden berdasarkan umur
Gambar 4.7 Diagram Pie distribusi menurut umur responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 4.7 diatas diketahui bahwa sebagian besar pasien berusia lebih dari 35 tahun (77%) atau 31 orang.
Gambar 4.8 Diagram Pie distribusi menurut pendidikan responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 5.2 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden berpendidikan SD (62%) atau 25 orang.
3. Disribusi responden berdasarkan pekerjaan
Gambar 4.9 Diagram Pie distribusi menurut pekerjaan responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 4.8 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai pekerjaan wiraswasta (75%) atau 30 orang.
4. Distribusi responden berdasarkan statusGambar 4.10 Diagram Pie distribusi menurut Status responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 5.4 di atas diketahui bahwa sebagian besar pasien mempunyai status sebagai ayah / ibu (85%) atau 34 orang
Gambar 4.11 Diagram Pie distribusi menurut jenis kelamin responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 4.11 diketahui bahwa sebagian besar pasien adalah laki-laki (62%) atau 25 orang.
1. Distribusi Status parital keluarga responden
Gambar 4.6 Diagram Pie distribusi menurut Status keluarga responden dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari gambar 4.6 diatas diketahui bahwa sebagian besar yaitu 30 responden (74%) dengan status kawin.
4.2.3 Data Khusus Responden
1. Data tentang peran keluarga responden
Tabel 4.1 Data peran keluarga dengan salah satu anggota menderita HT di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005Sebagian besar peran keluarga sedang sebanyak 75% atau 30 responden dari 40 responden.
1. Data tentang tingkat kecemasan responden
Table 4.2 Data tingkat kecemasan pasien HT di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Sebagian besar responden mempunyai tingkat kecemasan sedang yang berjumlah 27 (67,5%)
1. Data tentang hubungan antar sosiodemografi dengan tingkat kecemasan pasien dengan hipertensi
Tabel 4.3 Hubungan antara sosiodemografi dengan tingkat kecemasan pada pasien dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005 Dari tabel 4.3 diketahui bahwa yang mempunyai hubungan dengan tingkat kecemasan adalah pendidikan dengan nilai p:0,001 dengan keeratan hubungan 0,575 atau sedang. Nilai positif yang ditunjukkan oleh nilai rho berarti semakin tinggi status pendidikan seseorang semakin meningkat kecemasannya. Dari statistik regresi didapatkan nilai signifikasi untuk status dalam keluarga 0,000 dan status parital adalah 0,013 yang berarti ada pengaruh antara status dalam keluarga dan status parital terhadap kecemasan responden.
1. Data tentang hubungan antara variabel sosiodemografi dengan peran keluarga dalam kesehatan keluarga.
Tabel 4.3 Hubungan antara sosiodemografi dengan peran keluarga pasien dengan hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa yang mempunyai hubungan dengan peran keluarga adalah pendidikan (p:0,004) dan Pekerjaan (p:0,001) dengan nilai rho untuk pendidikan 0,0428 atau hubungan dengan keeratan sedang, dan nilai rho untuk pekerjaan adalah 0,536 dengan keeratan hubungan adalah sedang. Nilai positif yang ditunjukkan oleh nilai rho berarti semakin tinggi status pendidikan dan pekerjaan seseorang semakin baik peran dalam keluarganya .
1. Hubungan antara peran keluarga dan tingkat kecemasan pasien dengan Hipertensi
Tabel 4.4 Nilai hubungan antara peran keluarga dan tingkat kecemasan pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung tanggal 1Juli sampai dengan 5 Agustus 2005
Dari hasil korelasi antara peran keluarga dan tingkat kecemasan pasien hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Campur darat Tulungagung adalah ada hubungan antara kedua variable dengan nilai p=0,02 atau <0,05.
4.3 Pembahasan
Dalam pembahasan ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan dan disajikan berdasarkan pada teori di Bab 2.
4.3.1 Hubungan Antara Sosiodemografi Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Dengan Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Campur Darat Tulungagung.
Berdasarkan dengan uji korelasi ditemukan bahwa antara pendidikan dan tingkat kecemasan mempunyai hubungan dengan nilai p = 0,001 yang berarti ada hubungan antara kedua variable dari data juga ditemukan tingkat kecemasan dipengaruhi oleh status dalam keluarga dan status parital dengan nilai 0,000 dan 0,013. Nilai positif yang ditunjukkan oleh nilai rho berarti semakin tinggi status pendidikan seseorang semakin meningkat kecemasannya. Dadang Hawari menyatakan bahwa tingkat kecemasan sangatlah berhubungan dengan tingkat pendidikan seseorang dimana seseorang akan dapat mencari informasi atau menerima informasi dengan baik sehingga akan cepat mengerti akan kondisi dan keparahan penyakitnya dan dengan keadaan yang seperti ini akan menyebabkan peningkatan kecemasan pada orang tersebut. Selain hal tersebut pengalaman juga merupakan hal yang sangat menentukan tingkat kecemasan. Pengaruh status dalam keluarga dan status parital juga sangat berpengaruh terutama dalam kecemasan yaitu sebagai ayah/ibu dan dengan status parital kawin. Kecemasan dapat terjadi jika seseorang tidak mempunyai kesiapan dalam menerima informasi tentang penyakitnya sehingga dengan informasi atau pengetahuan tentang penyakitnya seseorang akan mengalami kecemasan.
Pada penderita hipertensi yang menjadi responden dengan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi akan menimbulkan tingkat kecemasan sedang. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kurangnya informasi tentang penyakit atau kurangnya penangkapan terhadap informasi yang masuk. Pada responden dengan tingkat pendidikan yang tinggi juga dapat menimbulkan kecemasan yang tinggi yang dikarenakan semakin seseorang tahu akan penyakitnya seseorang akan semakin mengalami kecemasan. Status dalam keluarga yaitu sebagai ayah /ibu dan juga status parital sebagian besar adalah kawin juga mempunyai pengaruh dalam tingkat kecemasan responden yang tidak terlalu tinggi tetapi sedang. Untuk sosiodemografi yang lain didapatkan hasil yang menyatakan tidak ada hubungan dan tidak berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien.
4.3.2 Hubungan Antara Sosiodemografi Dengan Peran Keluarga Dalam Kesehatan Dengan Anggota Keluarga Menderita Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Campur Darat Tulungagung.
Dari hasil uji statistik didapatkan bahwa yang mempunyai hubungan dengan peran keluarga dalam kesehatan adalah pendidikan dengan nilai p=0,006 dan pekerjaan keluarga dengan nilai p=0,000. Nilai positif yang ditunjukkan oleh nilai rho berarti semakin tinggi status pendidikan dan pekerjaan seseorang semakin baik peran dalam keluarganya Dari uji regresi ditemukan tidak ada pengaruh dari sosiodemografi terhadap peran keluarga responden.
Dengan pendidikan yang baik maka pengetahuan dan penangkapan informasi akan baik pula. Seperti yang dikemukakan Freeman yang menyatakan bahwa peran dapat dipengaruhi oleh pengetahuan. Dimana semakin tinggi pengetahuan seseorang akan meningkatkan peran. Dari uji statistik didapatkan pula bahwa pendapatan dan usia tidaklah terlalu mempunyai hubungan dengan peran hal ini dapat disebabkan pendapatan masyarakat yang rendah dan usia yang sangatlah bervariasi.
Pekerjaan pasien yang baik akan menimbulkan suatu interaksi dengan orang lain sehingga informasi bertambah sesuai dengan jenis pekerjaan, dan hal ini akan meningkatkan peran mereka didalam kesehatan (Freeman, 1998)
Pada responden banyak yang sudah bekerja baik itu swasta, wiraswasta ataupun pegawai negeri yang banyak mendapatkan informasi dari orang lain yang berinteraksi dengan mereka. Pendidikan dari responden banyak yang baik sehingga kemudahan dalam berkomunikasi dan menerima informasi akan menambah peran mereka dalam keluarga terutama dalam bidang kesehatan. Dengan cara berfikir yang baik maka seseorang juga akan lebih cepat dalam melakukan keputusan dalam kesehatan.
4.3.3 Hubungan Antara Peran Keluarga Dalam Kesehatan Keluarga Dengan Kecemasan Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Campur Darat Tulungagung
Sesuai dengan hasil dari uji korelasi yang dilakukan menunjukkan adanya hubungan antara peran keluarga dalam kesehatan dengan tingkat kecemasan pasien dengan hipertensi dengan tingkat signifikan yaitu 0.02 <0,05. Hasil ini sangatlah sesuai dengan pendapat yang dikemukanakan oleh Freedman dimana dalam mengatasi masalah kesehatan dalam keluarga dibutuhkan peran keluarga dalam mengatasinya. Masalah kesehatan dalam keluarga dapat berupa maalah kesehatan yang menimpa salah satu anggota keluarga seperti Hipertensi.
Hipertensi merupakan penyakit kronis yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi terutama stroke (Tagor, 2003). Menurut Dadang Hawari penyakit kronis dapat menyebabkan stress psikologis yang dapat berlanjut menjadi kecemasan dan bila hal ini tidak segera ditangani akan menjadi lebih parah sampai orang tersebut mengalami Kecemasan menyeluruh, phobia, panic bahkan sampai obsesiv konvulsif. Stress psikologis menurut Taat Putra dapat menurunkan kekebalan tubuh seseorang yang akan membawa orang tersebut kepada keadaan yang lebih parah dari keadaan yang sebelumnya.
Peran keluarga dalam kesehatan pada responden adalah sedang, sebenarnya hal ini tidaklah cukup karena harusnya peran keluarga adalah baik sehingga derajat kesehatan keluarganya akan menjadi lebih optimal. Dengan peran yang cukup baik didapatkan pula tingkat kecemasan yang sedang pada pasien dengan hipertensi.
Tingkat pendapatan akan mempengaruhi peran seseorang. Dadang Hawari menyatakan tingkat pengalaman atau dalam hal ini orang terbiasa dengan keadaan penyakit hipertensi (Kronis) akan lebih dapat bertoleransi terhadap masalah atau keadaan tersebut dan bisa dikatakan tidak akan terlalu berpengaruh (tingkat stress tidak terlalu tinggi). Menurut Moenir pendapatan seseorang yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan fisik minimum seseorang, dengan kebutuhan fisik minimum seseorang yang terpenuhi maka peran yang dapat dilakukan oleh keluarga adalah dengan meningkatkan derajat kesehatan secara optimal. Hal seperti ini akan dapat membuat pasien dengan hipertensi dapat mengatasi masalah kesehatan baik secara fisik maupun secara psikologis sehingga kecemasan tidak terjadi.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah dilakukan pengelompokan dan tabulasi data serta pembahasan dari hubungan antara peran keluarga dalam kesehatan keluarga dan tingkat kecemasan pasien dengan hipertensi, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut :
5.1 Kesimpulan
- Sebagian besar Peran keluarga dalam kesehatan keluarga adalah cukup baik
- Sebagian besar tingkat kecemasan pada responden adalah sedang
- Ada hubungan sedang antara tingkat pendidikan dengan tingkat kecemasan responden
- Ada hubungan antara pendidikan dan pekerjaan keluarga responden dengan peran keluarga
- Ada pengaruh status dalam keluarga responden dan status parital terhadap tingkat kecemasan responden
- Tidak terdapat pengaruh antara sosiodemografi dengan peran keluarga responden
- Terdapat hubungan antara peran keluarga dalam kesehatan dengan tingkat kecemasan responden
5.2 Saran
- Peran keluarga yang cukup baik tetap dilaksanakan bahkan dapat ditingkatkan menjadi lebih baik sehingga kesehatan keluarga menjadi lebih optimal
- Dengan pengobatan dan peningkatan peran keluarga pasien diharapkan tidak merasa cemas akan kondisi atau akan menjadi beban keluarga, karena merawat anggota keluarga merupakan tugas dari keluarga.
- bagi petugas kesehatan pentingnya peran keluarga dalam terapi pasien hipertensi dapat dipertimbangkan, bukan hanya melalui pengobatan.
- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan peran keluarga dengan tingkat kecemasan pasien hipertensi yang terkait dengan mengembangkan variabel-variabel berpengaruh, sampel yang lebih banyak dan tempat yang lebih luas.
0 komentar:
Posting Komentar